Mewujudkan Pemerhati Keluarga Katolik yang Setia, Solider, dan Penuh Sukacita

Pada awal sesi pembinaan keluarga, Pastor Alfonsus Sutarno melakukan icebreaking demikian, “Coba buat posisi tangan dengan sikap berdoa. Perhatikanlah apakah jari kanan atau kiri yang ada di atas? Sekarang lipatlah tangan Anda di dada, lengan kanan atau kirikah yang ada di atas. Pada kedua percobaan tersebut, jika jari kiri dan lengan kiri berada di atas, maka yang berkembang adalah otak kanan. Jika keduanya kanan, maka otak kirilah yang berkembang. Jika satu kiri dan satu kanan, maka... otaknya tidak berkembang.” Mendengar hal itu, sontak seluruh peserta tertawa terbahakbahak. Demikianlah gambaran kegiatan pembinaan Bimbingan Keluarga Bahagia Katolik yang diselenggarakan oleh Kemenag Kota Bekasi bekerjasama dengan SKK Dekanat Bekasi bersama Romo Pungki, SVD selaku moderator, pada Sabtu, 16 Maret 2024 lalu. Icebreaking yang dilakukan oleh Romo Tarno di atas hanya merupakan candaan. Saat itu ia bertindak sebagai trainer dalam seminar ini. Romo Tarno adalah seorang Imam Diosesan dari Keuskupan Sufragan Bogor. Saat ini ia bertugas sebagai Dosen Etika dan Moral pada Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung dan imam yang menjabat sekian banyak tugas dan pelayanan lainnya. Dr. Alfonsus Sutarno, S.Ag., Lic.Th., demikianlah nama lengkap dan gelar yang melekat pada beliau. Dengan ilmu dan pengalaman yang banyak, Romo Tarno memiliki banyak cerita dan informasi yang inspiratif dan motivatif yang sampai ke telinga para peserta. Informasi yang bernas dan cerita-cerita jenaka diterima oleh para pemerhati keluarga yang berasal dari paroki-paroki di dekanat Bekasi, tanpa merasa bosan apalagi mengantuk.

“Adanya perbedaan berkembangnya otak kanan dan otak kiri mengindikasikan bahwa terdapat perbedan-perbedaan karakter pada setiap orang. Adanya perbedaan-perbedaan, lanjut Romo Tarno, menunjukkan bahwa hubungan setiap pribadi, teristimewa dalam relasi atara suami istri, sangatlah kompleks. Hal inilah yang menyebabkan adanya kompleksitas persoalan  dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Persoalan perkawinan dan keluarga bisa dinilai ringan-ringan saja, bahkan remeh, yang dapat diselesaikan melalui diskusi atau komunikasi. Persoalan perkawinan dan keluaraga bisa juga sangat berat sehingga harus diselesaikan dengan bantuan Tribunal Gerejawi (pengadilan Gereja-red).

Penjelasan Romo Tarno berlanjut dengan ilustrasi berikut: “Contoh masalah remeh: gayung saja bisa menjadi masalah. Misalnya Istri adalah seorang yang berkarakter rapi, teratur dan resik, sedangkan suami adalah seorang yang berkarakter kebalikannya. Pada awal kehidupan berumahtangga, dimana hati masih berbunga-bunga karena sukacita dan panggilan masih sangat mesra layaknya Romeo dan Juliet, segala kekurangan akan tertutupi. Ketika suami menaruh gayung di air, istri akan mengingatkan: ‘Beb, naro gayungnya jangan di air, nanti airnya gampang kotor’. Suami menjawab: ‘Baiklah beb.’ Setelah beberapa bulan suami menaruh gayung dengan air di dalam gayung tersebut. Kata istri: ‘Di gayungnya kok ada airnya? Nanti jadi sarang nyamuk loh .’ Suami tidak menjawab tetapi melakukan apa yang dimaksudkan sang istri. Kali berikutnya, suami meletakkan gayung jauh dari bak mandi. Tegur istri: ‘Jauh amat naro gayungnya.’ Suami menyahut: Gayung begini lah, gayung begitu lah. Cuma gayung saja urusanmu? Sana kau urusi gayungmu, aku mau pergi.’ Kalau istri model seperti itu dan suami tidak memahaminya, maka akan terjadi malapetaka dalam kehidupan perkawinan. Demikian pun bisa terjadi sebaliknya, misalnya celoteh suami soal masakan istri, atau bisa juga perihal perona bibir, atau mungkin masalah rambut yang baru dirapikan di salon. Ilustrasi tersebut mau menggambarkan bahwa yang remeh saja bisa menjadi masalah besar, apalagi masalah besar seperti: perilaku seksual yang menyimpang, kecanduan alkohol dan narkoba, KDRT, anggota keluarga yang dipenjara, yatim piatu, diskriminasi sosial dan politik, dan masih banyak lagi.

Semua kompleksitas persoalan keluarga, baik ringan maupun berat, menjadikan keluarga sebagai ruang yang sangat rentan untuk mengalami keretakan lebih jauh lagi perpecahan atau kerusakan. Lalu mengapa Gereja demikian memperhatikan kehidupan keluarga? Karena ini seturut dengan Seruan Apostolik Pascasinode, Bapa Suci Fransiskus dalam Amoris Laetitia: ‘Sukacita keluarga adalah sukacita Gereja. Pewartaan Kristiani tentang keluarga merupakan kabar baik (AL 1). Dan: Kompleksitas persoalan keluarga mengindikasikan perlunya diskusi terbuka secara terus-menerus(AL 2). Berikut kutipan-kutipan lain dari berbagai dokumen Gereja:

  1. Perkawinan dan keluarga merupakan salah satu nilai manusiawi yang paling berharga (Familiaris Consortio 2).
  2. Masa depan umat manusia akan berlangsung melalui jalan keluarga (Familiaris Consortio 86, 87). Perkawinan dan keluarga adalah sarana keselamatan personal/komunal (Gaudium et Spes 47).
  3. Jika kau ingin mengubah dunia, pulanglah ke rumah dan cintai keluargamu. (Mother Theresa).”

Seminar ini diadakan pun sebagai bentuk upaya memperhatikan keluarga dan tanggungjawab semua orang. Seperti tertera dalam dokumen Gaudium et Spes: ‘Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang (GS 52). Seminar yang bertema: ‘Pemerhati Keluarga yang Setia, Solider dan Penuh Sukacita.’ ini judulnya sangatlah tepat. Karena kata-kata ‘pemerhati keluarga’ sangatlah berwibawa bagi Gereja. Pemerhati itu jangkauan kasihnya lebih luas karena dalam melayani dia memakai hati bukan karena jabatan atau tugas instistusi semata. Pemerhati juga dalam menjalani tugas diikat bukan karena hubungan darah tetapi diikat oleh baptisan yang diterima. Selain Seminar ini, berikut karya-karya Gereja untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga: BSC (Bogor Single Community), BCD (Bogor Catholic Discovery), KPP/SESI PRANIKAH (Kursus  Persiapan Perkawinan/ Katekese dan Evangelisasi Pranikah), PCC (Pastoral Counseling Center), PRISKAT (Pria Sejati Katolik), CWW (Catholic Wise Woman), WBK (Wanita Bijak Katolik), ME (Marriage Encounter).

Penjelasan perihal karya yang ada di Keuskupan Sufragan Bogor tersebut, mengakhiri 5 jam seminar yang dimulai pada pukul 9.00 WIB. Untuk Keuskupan Agung Jakarta dimana Komisi Kerasulan Keluarga (KomKK) membidangi pengembangan perkawinan dan hidup berkeluarga, karya-karyanya adalah sebagai berikut: MRT (Membangun Rumah Tangga), Discovery (Program untuk muda-mudi yang sudah serius berpacaran), MOKA (Menjadi Orang tua Katolik), Rekab (Remaja Bermartabat), MataHati (Makin Tua Hidup Makin Berarti), Jejaring Psikolog, Bulan Keluarga, KPK (Kursus Pastoral Keluarga), PDPK (Pelatihan Dasar Pemerhati Keluarga), PAKEL (Peningkatan Keterampilan Pemerhati Keluarga), KBB (Keluarga Belajar Bersama), Sepul TP (Sepuluh Tahun Perkawinan), Retret Pasutri.

Di awal seminar, yaitu pada sesi Pembuka, sebelum Romo Tarno memberikan seminar, berturut-turut memberi sambutan: Romo Leonardus Piter Pungki Setiawan, SVD, kemudian Bapak H. Ali Mashuri, S.H.,M.Hum Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Bekasi. Menurut Romo Pungki:

“Pernikahan Katolik itu khas karena diangkat martabatnya sangat luhur sebagai sakramen, tanda dan sarana keselamatan Allah, bersifat monogami dan tak terceraikan. Maka kegiatan bagi para pelayan SKK dari parokiparoki di dekenat Bekasi dalam Kerjasama degan kemenag Kota Bekasi adalah sangat bagus.” Senada dengan Romo Pungki, Bapak Haji Ali menyampaikan: ”Kita ini umat beragama yang mempunyai tujuan sama, yaitu mau supaya keluarga menjadi institusi yang bahagia. Peran keluarga-keluarga Katolik sangat diperlukan dalam membangun kerja sama dengan Pemerintah, dalam hal ini  Kementerian Agama untuk terciptanya kehidupan yang rukun, penuh kasih, damai, adil, dan sejahtera.”

Dalam sessi penutup, Penyelenggara Katolik Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi, Ibu Grasia Setya Widiasrini, S.E. menggarisbawahi peran SKK dalam tugas dan pelayanan di Gereja. SKK harus mampu dan hadir untuk menjadi pemerhati keluarga Katolik. Sebagai pemerhati harus memiliki kesetiaan, rasa solidaritas, dan kasih terhadap orang-orang yang dilayani.

Sebagai Clossing statement, Romo Tarno mengutip pernyataan Muhatma Ghandi: “I like Christ but I don’t like Chritians, because you are unlike Christ. (Saya menyukai Kristus, tetapi saya tidak senang dengan orangorang kristiani karena mereka tidak menyerupai Kristus). Terdapat kesenjangan yang sangat dalam antara pesan Injil yang baik dengan praktik hidup sehari-hari. Semoga para pemerhati keluarga mampu berperan aktif dan merasul dalam hidup perkawinan dan keluarga, pertama-tama dan terutama dalam mewujudkan perkawinan secara kristiani (bdk. AG 21). Dengan demikian, tidaklah mustahil kalimat di atas itu berganti, ‘I like Christ and I like Christians, because you are like Christ (Aku mencintai Kristus dan aku juga mencintai orang-orang kristiani, karena orang-orang kristiani sama seperti Kristus.”

Kiranya cukup banak bekal yang kami terima hari ini. Untuk dokumentasi kami berenam yang mewakili SKK paroki Cikarang, Pak Ben dan Bu Netty, Pak Nainggolan dan Bu marlina, Pak Frans dan Bu Sri, menyempatkan mengambil gambar bersama Romo Tarno dan Bu Rini. Hujan lebat di sekitar Hotel Santika, Mega City Bekasi, tempat acara ini digelar, menyambut berakhirnya acara ini. Entah menantang kesungguhan kami dalam melayani, atau memberi kami semangat untuk lebih giat melayani. Jika hanya kami, beratlah langkah yang harus ditempuh, tetapi bila setiap orang mau memberi sumbangan yang efektif dan saling membantu, maka perwujudan keluarga yang bahagia adalah nyata. Seperti kata Paulus dalam suratnya kepada orang Galatia: “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” (Gal 6: 2)

Sabtu, 23 Maret 2024 - Dalam sebuah refleksi

Liputan dan Foto : Fransiskus EB & Sriliasna (SKKL Birgitta)


Post Terkait

Comments