Suatu senja di sebuah ruang tamu, terjadi percakapan antara seorang anak laki-laki, Ryan, dengan ibunya, Ibu Sarah. Melihat Ryan yang sedang gelisah, Ibu Sarah bertanya: “Ryan, kenapa kamu terlihat tidak tenang? Apa yang sedang kamu pikirkan?” Sambil menatap ke lantai, Ryan menjawab: “Aku merasa sangat cemas, Bu. Ujian akhir semester akan segera datang, dan aku merasa seperti tidak bisa mengingat apa pun yang sudah aku pelajari.”
Sambil mendekati Ryan, Ibu Sarah duduk di sampingnya: “Kamu sudah belajar? Bagaimana kalau kita buat jadwal belajar bersama?” Ryan menggelengkan kepala, sambil berkata: “Aku sudah belajar, tapi setiap kali aku membuka buku, pikiranku malah melayang ke hal-hal lain. Rasanya seperti ada suara di kepalaku yang terus berkata: Kamu tidak akan bisa." Ibu Sarah menyentuh punggung Ryan dan berkata: “Aku mengerti. Tekanan menjelang ujian memang bisa membuat cemas. Tapi kamu tahu, tidak apa-apa untuk merasa seperti ini. Banyak remaja lain yang merasakannya juga.
Dengan nada putus asa, Ryan menyahut: “Tapi aku tidak mau mengecewakan ibu atau ayah. Aku ingin menda- patkan nilai bagus, dan semua teman- temanku pasti sudah siap.” Dengan lembut Ibu Sarah menjawab: “Ryan, kami tidak mengharapkan nilai sem- purna. Yang penting adalah kamu sudah berusaha sebaik mungkin. Ingat, nilai bukan satu-satunya yang membuatmu berharga.” Sahut Ryan: “Tapi jika aku tidak mendapatkan nilai yang baik, aku merasa hidupku akan hancur.” Sambil menganggukkan kepalanya Ibu Sarah berkata: “Saya paham itu bisa terasa sangat berat. Namun, kadang kita perlu mengambil langkah mundur dan bernapas. Bagaimana kalau kita ambil istirahat sejenak? Kita bisa menonton film atau melakukan sesuatu yang menyenangkan.” Dengan wajah penuh keraguan Ryan menjawab: “Aku tidak tahu, Bu. Rasanya seperti aku harus terus belajar.”
Sahut Ibu Sarah: “Belajar itu penting, tapi kesehatanmu juga sama pentingnya. Kadang, memberi diri kita waktu untuk bersantai bisa membantu kita kembali lebih fokus.” Sambil menarik nafas Ryan berkata: “Mungkin ibu benar. Aku hanya merasa sangat tertekan, dan terkadang, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.” Sambil menatap penuh kasih Ibu Sarah berkata: “Jika kamu merasa cemas terusmenerus, mungkin ada baiknya berbicara dengan seseorang yang bisa membantu, seperti konselor sekolah. Mereka bisa memberikan dukungan dan saran yang baik.” Jawab Ryan: “Aku akan mempertimbangkan itu. Terima kasih sudah mendengarkan, Bu. Aku merasa sedikit lebih baik sekarang.” Sambil tersenyum Ibu Sarah berkata: “Selalu, sayang. Kita akan melalui ini bersama-sama. Ingat, tidak ada yang salah dengan meminta bantuan. Kamu tidak sendirian dalam perjalanan ini.” Sambil tersenyum kecil Ryan menjawab: “Terima kasih, Bu. Aku sangat menghargai dukungan ibu.”
Ini adalah salah satu ilustrasi cerita yang mungkin saja kita alami di dalam keluarga kita masing-masing. Dialog di atas menunjukkan bagaimana kecemasan dapat muncul di lingkungan rumah, memengaruhi dinamika antara remaja dan orang tuanya. Ryan mengalami tekanan terkait ujian, dan Ibu Sarah berperan sebagai pendukung yang mendengarkan dan memberikan saran. Dialog ini mencerminkan pentingnya komunikasi yang terbuka dan dukungan emosional dalam mengatasi masalah kesehatan mental di antara remaja dan orang tua.
Berdasarkan survei yang dilakukan di antara pelajar sekolah katolik di Cikarang, didapatkan bahwa gangguan mental ringan berupa kecemasan menduduki peringkat teratas. Namun dari hasil tanya jawab perorangan secara random, seringkali si anak merasa bahwa dia tidak mempunyai gangguan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa ada ‘topeng (masking effect)’ dalam kehidupan seorang anak dan mungkin juga di dalam keluarganya.
Oleh karena itu, kami tergerak untuk mengangkat tema kecemasan pada remaja ini menjadi suatu pembahasan yang holistik (menyeluruh dan menyatu), ditinjau dari sisi medis dan rohani, serta dengan pendekatan ke keluarga.
Ada dua judul kegiatan yang sudah kami persiapkan. Untuk anak berjudul “Bolehkah Aku Cemas?” dan untuk orangtua berjudul “Sudahkah Aku Menjadi Rumah untuk Anakku?” Dilaksanakan pada hari Sabtu 26 Oktober 2024 dari pukul 08:30 hingga pk 14:00, bertempat di Trinitas. Dengan pengaturan ruangan yang terpisah untuk anak dan orangtua, agar pembahasan bisa lebih efektif.
Kesehatan mental yang mencakup keadaan emosional, psikologis, sosial dan spiritual, merupakan aspek penting dalam kehidupan setiap individu. Bagi para orangtua, memahami kesehatan mental tidak hanya penting untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk mendukung perkembangan mental anak-anak mereka. Dalam konteks Katolik, kesehatan mental berkaitan erat dengan spiritualitas dan kesejahteraan rohani serta dapat dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan yang seimbang.
Kecemasan merupakan bentuk gangguan mental ringan dan jangan dibiarkan tanpa mengetahuinya, yang berpotensi lebih parah di kemudian hari. Mari kita pahami tentang hal ini dan kuasai bagaimana mengatasinya, baik bagi diri sendiri maupun bagi anak-anak kita. Segera daftarkan diri bapak ibu dan jangan lupa untuk mengajak juga anak-anak bapak ibu, terutama yang saat ini duduk di SMA. Hadir dan dapatkan manfaatnya.
Tema Kecemasan ini merupakan langkah pertama dari kegiatan Kesehatan Mental dan akan berlanjut terus di kemudian hari dengan tema-tema yang lebih menarik dan lebih aktual. Umat PCGIT boleh berbangga karena menjadi perintis dalam memulai Kesehatan Mental dalam lingkup paroki, suatu gerakan kepedulian gereja terhadap kehidupan umat beriman. Sampai berjumpa dalam seminar.
Tuhan memberkati. Sehat selalu.
Penulis : Dr. Andreas Gunawan - Pemerhati Kesehatan Mental