Berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, “ahli-ahli Taurat dana orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu. Tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya”.
Bagaimana menurut anda, ayat itu? Kira-kira, imajinasi apa yang ingin diberikan oleh Yesus. Ada dua hal yang setidaknya nyangkol dalam benak saya. Pertama tentang identitas yang dalam bahasa keren “Being” dan kedua adalah tindakan; “Doing”. Ahli Taurat dan orang Farisi tahu banget siapa mereka. Mereka adalah orangorang yang terpandang. Mereka punya status sosial yang berbeda dengan kebanyakan orang saat itu. Jubah atau baju berbeda, tongkrongan berbeda, dan mendapat perlakukan dan ingin diperlakukan berbeda. Mereka punya identitas yang sangat tinggi; mereka mempunyai keutamaan dalam spiritual. Mereka berkumpul di rumah-rumah pribadi; beribadah dan mempelajari Kitab Suci. Kata Farisi sendiri berarti “orang-orang yang terpisah”. Konon, mereka ingin melindungi agama Yahudi dari kontaminasi budaya asing; dengan ketat memberlakukan hukum Taurat, sabat dan puasa ketat.
Yang menarik, kelompok Farisi percaya bahwa taat dengan ketelitian pada hukum-hukum Allah adalah tugas setiap orang Yahudi, dan mereka tidak hanya menaati perintah yang diidentifikasikan oleh para rabi dari hukum Taurat, tetapi juga sejumlah tradisi lisan tambahan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan terus mengembangkan peraturan-peraturan yang ada di masa lalu untuk diterapkan pada masa kini. Hal-hal ini dikenal sebagai “adat istiadat nenek moyang” (Mrk. 7:3-5) atau Halakah (bahasa Ibrani untuk “berjalan”). Sekalipun sering dicela sebagai orang munafik yang hanya memperhatikan hal-hal lahiriah, penekanan terhadap kesu cian dan ketaatan bukanlah tujuan akhir. Menurut mereka, hal-hal itu diperlukan guna menjaga identitas bangsa Israel dan merupakan satu-satunya cara mempersiapkan jalan bagi kedatangan Mesias yang akan membebaskan bangsa Israel. “…Wes kurang opo mereka ini?
Rm. Driyarkara, SJ mengatakan tentang pendidikan: mesti “Memanusiakan Manusia Muda”. Rm. Driyarkara mau mengatakan bahwa pendidikan adalah proses kesadaran menjadi manusia. Atau dalam arti luas semakin orang berpendidikan semakin menyadari menjadi manusia dan manusiawi. Inilah juga mau dikatakan Yesus dalam perikop di atas. Yesus mau mengatakan identitas (being) (entah) karena pendidikan, status dan jabatan, mesti menjadi semakin manusiawi (doing); manusiawi. Menjadi manusiawi itu sederhana menurut saya; mempunyai kesadaran bahwa aku hidup bersama dengan orang lain dan semesta ini. Bukan sebaliknya; seperti orang Farisi. Mereka khatam hukum Taurat tapi kelakuan minus. Kelakukan mereka sering membuat orang lain menderita dan tidak dimanusiakan. Mereka lebih menjadi batu sandungan dan mengancam keberadaannya untuk masyarakat pada saat itu.
Being dan Doing, menurut saya mengajak kita pada keutamaan sikap sebagai orang Kristen, seperti bagian akhir dari perikop Minggu ini. “…janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Kristus. Siapa pun yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri akan ditinggikan.” Identitas sebagai pengikut Kristus khan sudah jelas yo. Yo wes tinggal doing-doing wae.
Akhirnya, Yesus mengajak kita untuk tidak “terperosok” seperti Ahli Taurat dan orang Farisi. Orang yang paham tentang liturgi (ekaristi), membaca kitab suci, dekat dengan Imam, aktifis Gereja tapi kelakukan malah (semakin) melukai orang lain, menjadi batu sandungan, mengancam dan tidak peduli terhadap sesama. Kita bukan orang Farisi khan? Hehehehe ....
Penulis : Rm. Christoforus Kristiono Puspo, SJ
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa