Bangun dari tidur, Santo cepat mencari Tere.
“Ter, apa masih ingat nama guru-guru waktu dulu masih TK dan SD?”
“Ada apa sih Mas, kok bangun pagi nanya guru TK-SD segala? Tere belum umur delapan puluh tahun, masak sih lupa”.
Tere ingin melangkah ke dapur, tetapi Santo sudah berbicara lagi: “Gini Ter, kemarin sore beberapa teman yang dari kampung pada ngumpul di kampus. Katanya Desember nanti mau pada pulang kampung, sekalian mau mengunjungi beberapa guru mereka. Ide ini datang dari salah satu kawan yang katanya teringat dengan komentar Paus Fransiskus ketika bertemu dengan anak-anak dari pinggiran kota Roma dan Milan. Rupanya dia membaca sebuah media tertanggal 11 Juni 2018*). Yang berkesan bagi teman tadiadalah ajakan Paus kepada anak-anak untuk selalu mengingat sekolah dan guru pertama mereka”.
“Ide yang bagus Kak Santo. Kalau Tere jadi Kak Santo, Tere juga mau ikut pulang kampung. Sekalian refereshing dan menambah pengalaman. Namun sebelum ngobrol tentang pulang kampung, memang Paus ada pesan apa sebetulnya?”
“Gini Ter. Rupanya kepada anak-anak tadi, Paus memberikan pertanyaan yang gereget banget ‘Apakah ada pohon yang sudah dicabut dari akarnya masih bisa menghasilkan bunga?’ Spontan semua anak yang hadir menjawab ‘tidak ada’. Berangkat dari situ Paus memberi pesan supaya mereka tidak pernah melupakan sekolah, rumah, latar belakang mereka”. Tere memperhatikan kakaknya. Melihat keseriusannya, Tere berbalik dari arah dapur ke ruang keluarga. Di sana sudah ada kedua orang tuanya lagi berbincang kecil. Tere mengambil tempat duduk diikuti Santo.
“Oh Tere ngerti. Tetapi kok mirip dengan diskusi kita sebelumnya tentang pengalaman suster guruku ya. Berarti pesan penting dari Paus adalah bahwa kita jangan pernah seperti cerita Malingkundang yang melupakan ibunya setelah dia menjadi orang. Karena ujungnya adalah kehancuran”
“Persis Ter. Kemarin di kampus, kami ngobrol tentang hal ini. Satu teman bilang, kita ini dibentuk oleh lingkungan kita. Dalam diri kita bukan hanya mengalir darah orang tua, tetapi juga mengalir warisan budaya, warisan pergaulan dengan semua orang sejak kita lahir. Malahan katanya, perlakuan yang kita terima ketika kita masih dalam kandungan ibu, sebetulnya mempengaruhi perilaku kita saat ini. Dengan kata lain, siapa kita saat ini adalah bentukan dari masa lalu kita. Dalam diri kita ada jasa ratusan bahkan mungkin ribuan orang. Apa masuk akal Ter?”
Setelah berpikir sejenak, Tere berkomentar “Tidak bisa membantah. Tetapi maaf Tere jadi teringat akan seorang Adolf Hitler, penguasa Nazi Jerman. Ada dugaan bahwa wataknya dipengaruhi oleh sikap ayahnya yang suka menghukum, entah memukuli atau marah besar, membentak kalau Hitler kecil melakukan kesalahan atau tidak mencapai hasil yang diharapkan ayahnya. Jadilah dia seorang penguasa yang kejam, tidak punya rasa kemanusiaan terutama kepada jutaan orang Yahudi. Dalam hal ini, Tere setuju bahwa manusia tidak jatuh dari langit tetapi merupakan hasil bentukan aneka ragam pengalaman, pergaulan”
Ibu yang mendengar komentar Tere lalu tidak mau ketinggalan.
“Ada apa ini, pagi-pagi langsung ngomong tentang Hitler. Apa Ayah mirip dengan ayah dari Hitler?” Senyum di wajah Ibu menandakan bahwa ia ingin memulai pagi itu dengan canda.
Sadar akan ketidaktahuan Ibu dan Ayah akan konteks pembicaraan, Santo lalu menjelaskan inspirasi dari Paus dan rencana sejumlah teman Santo.
“Teman Santo ingin pulang kampung sekalian untuk melihat tanaman yang dulu mereka tanam bersama para guru mereka dulu. Untuk itu mereka saat ini mencari dana untuk menghijaukan area sekitar sekolah itu” kata Santo menimpali ayahnya.
Ayah langsung memberi persetujuan “Oh, bagus sekali. Kita bukan hanya dibentuk oleh ribuan orang atau lingkugan sosial kita, tetapi juga oleh lingkungan alam kita. Watak kita bisamenunjukkan siapa diri kita dalam hubungan dengan alam. Orang yang tahu susahnya cari makan biasanya sangat menghargai makanan. Ayah jadi teringat pesan Bapak Kardinal pada Hari Pangan tanggal 16 Oktober yang lalu bahwa nilai sampah makanan Indonesia per tahun sebanding dengan Rp 330 triliun per tahun, atau kurang lebih 2,1 juta rupiah per penduduk”.
“Nah ini, Tere setuju dengan Ayah. Minggu lalu kita merayakan hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Seharusnya kita menghargai pemberian Tuhan. Jangan kita menjadi raja atas diri sendiri dan raja atas lingkungan/orang lain tanpa kontrol”.
*). Keterangan bisa dibaca pada https://www.ncronline.org/vatican/francis-comic-strip/francis-chronicles/ pope-shares-childhood-memoriesitalian-children
Penulis : Salvinus Mellese - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa