Selesai doa makan, Tere langsung tancap gas, “Gimana ya kondisi beberapa bulan mendatang. Belum masa kampanye, suhu politik sudah mulai memanas. Perang Rusia-Ukraina belum reda, sudah ada lagi perang di Timur Tengah. Dengar-dengar resesi ekonomi sangat mungkin terjadi. Lapangan pekerjaan makin susah nantinya. Properti aja sampai sekarang masih lesu. Bakal banyak yang akan stress kalau gini”.
“Hehehehe… baiknya taruh makan dulu baru cerita”, kata Ayah menimpali, sambil menaruh nasi di piringnya. “Wao enak dan segar banget ini, daun kelor masak bening begini. Thanks ya Bu. Atau Tere yang masak? Benar segar banget, makanan sehat, bebas minyak-kolesterol. Siapa berikutnya?”
Melihat gerakan tangan Ibu yang membuka telapak tangannya, Santo lalu menyusul Ayah mengambil nasi. “Kali ini Santo kelihatannya akan makan banyak, ada sambal tomat segar” puji Santo.
Sambil memperhatikan gerakan tangan Santo, Tere kembali angkat suara, “Ada berita di internet, berupa survei dari sebuah perusahaan riset pasar, Ipsos Group SA. Katanya, 44 persen dari respondennya yang berasal dari 31 negara menilai bahwa masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan saat ini adalah kesehatan mental. Memang ini hanya penilaian, tetapi kalau itu benar maka Tere khawatir riak politik dan kondisi perekonomian bisa membuat semua lebih rumit. Akan tambah banyak yang stress. Sementara ekonomi China mungkin tidak bisa membantu karena China sendiri rupanya mengalami masalah. Evergrand, salah satu perusahaan properti terbesar disana collapse. Dengar-dengar ekspor dan impornya menurun, menjadi alarm peringatan pertumbuhan ekonomi yang kurang baik. Pasti ada imbasnya ke Indo. Apalagi Amrik terus naikkan suku bunga untuk menarik dana kembali ke sana. Kita perlu waspada” tegas Tere.
“Terutama nanti untuk mereka yang kalah dalam pilkada atau pemilu” kata Ibu memotong pembicaraan Tere. “Ibu dengar bahwa saat ini saja, 1 dari 15 orang yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional. Kalau tidak salah, Ibu baca di UGM.ac.id. Di situ dikatakan juga bahwa 1 dari 16 orang berusia 15 tahun ke atas, didiagnosa mengalami prevalensi depresi. Makanya Ayah dan Ibu sedapat mungkin jalan pagi untuk menjaga kesehatan jasmani-rohani”.
“Apa yang Ibu baca tampaknya betul. Dalam waktu yang berdekatan ini saja ada berita dua mahasiswi dan seorang mahasiswa diduga mengakhiri hidupnya sendiri di Semarang dan Sidoarjo. Perkaranya belum jelas sih” kata Santo menimpali pembicaraan Ibu. “Yang di Sidoarjo, orangnya rupanya tertutup dan kelihatan lelah. Surat wasit yang diduga dari dia juga memberi kesan bahwa dia merasa tidak memiliki masa depan, kurang berguna, dunia kejam. Padahal dia mahasiswa kedokteran hewan”
“Nah itulah, sisi lain dari dunia modern. Persaingan dan kesibukan dapat membuat orang merasa tidak berguna atau terkucilkan. Tetapi tergantung orangnya juga. Dua orang yang mengalami tekanan hidup yang sama, bisa jadi menyebabkan yang satu stress tetapi yang lain tidak, tergantung kepada kerentanan seseorang pada tekanan. Yang menarik ialah bahwa ternyata kerentanan ini terbentuk sejak dalam kandungan dan pengalaman hidup lima tahun pertama. Jadi pengalaman masa kecil, jauh sebelum kita tumbuh dewasa sangat berperan. Ini artinya keluarga atau orang tua sangat berperan” kata Ayah memberi penjelasan.
“Toh Mas Santo, makanya nanti kalau Mas Santo punya isteri yang lagi hamil, sebaiknya perutnya banyak dielus kata orang. Isterinya sering-sering didengarin musik gembira. Isteri jangan dibuat cemas. Sering diajak jalan. Terus anaknya sering dikasih apresiasi” canda Tere pada kakaknya.
“Tetapi Ter, mahasiswi yang di Sidoarjo itu malahan bilang di surat wasiatnya kalau dia tidak sepintar seperti dipikirkan orang tuanya. Artinya ortunya kasih pujian juga dong, tetapi malahan jadi beban?” kata Santo memotong pembicaraan Tere.
“Kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi, apakah dia menerimanya sebagai pujian atau tuntutan atau gimana”, kata Ibu mencoba menengahi Tere dan Santo. “Tetapi yang Ibu tahu adalah bahwa pertemuan dalam keluarga itu sangat-sangat penting. Di saat ada yang gagal, tidak perlu menjadi masalah besar, bukan mencari salah siapa. Kalau kita mengalami masalah, kita butuh tempat untuk bercerita. Kita butuh orang yang mau mendengarkan dengan empati. Di sinilah peranan ortu, saudara atau keluarga. Cerita ngalor-ngidul tetapi itu menyehatkan jiwa. Bukankah gitu Yah?” kata Ibu sambil melirik Ayah.
“Justru cerita ngalor-ngidul itu yang sering memberi kita energi, sekaligus pencerahan, karena masukan dari berbagai pihak diterima dengan gembira, bukan sebagai kritik atau tuntutan yang tak dapat ditawar. Cerita ngalorngidul juga membuat kita dapat menerima masa lalu kita, kelemahan dan kekurangan kita. Untuk itulah ortu seperti Ayah-Ibu ini perlu ngumpulngumpul juga dengan kelompok seusia, entah di RT, lingkungan Gereja atau teman sekolah dulu. Tetapi tentu saja, kita tidak boleh santai sepanjang hidup. Tujuan hidup memberi kita energi. Ada saatnya kita kerja keras, ada saatnya kita butuh santai, atau me time” kata Ayah menuturkan pengalamannya.
“Tambah satu lagi Yah. Harus menjaga jam tidur. Kurang istirahat mempengaruhi suasana hati saat bangun.
Makanya, malam ini Tere mau tidur cepat. Habis cuci piring, Tere pamit langsung masuk kamar, mau selesaikan tugas kuliah, terus siap-siap untuk tidur” sambung Tere
“Hehehehe…. cepat tidur habis makan juga kurang bagus” kata Ibu mengingatkan.
“Tadi Tere nambah satu. Sekarang giliran Santo mau nambah satu. Surat Paulus kepada Umat di Tesalonika yang kita dengarkan minggu ini bilang ‘hiburkanlah seorang akan yang lain’. Ada teman Santo yang butuh teman curhat. Dia belum dapat kerjaan, jadi habis ini, Santo mau ke sana. Mungkin ngalor-ngidul tetapi, yang penting memberi suasana hati yang baru” kata Santo bercanda.
“Kalau gitu mari kita lanjutkan makan” sahut Ibu disambut dengan senyum oleh keluarga.
Penulis : Salvinus Mellese - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa