Keluargaku Komunitas Sel Solidaritas bagi Pertumbuhan Iman

“Jika Anda ingin membawa kebahagiaan ke seluruh dunia, pulanglah dan cintai keluarga Anda.”

Kutipan di atas adalah pesan inspiratif Santa Teresa dari Kalkuta untuk mengingatkan kita umat beriman bahwa kebahagiaan sejati dimulai dari dalam keluarga kita sendiri. Dengan mencintai pasangan dan anak-anak kita, kita dapat menyebarkan solidaritas dan kebahagiaan ke komunitas yang lebih luas. Dengan demikian, keluarga setiap orang beriman menjadi komsel solidaritas. Komsel solidaritas dalam keluarga ini menumbuhkan kepekaan terhadap benih-benih panggilan hidup (Supriyadi, A. 2018), iman, dan panggilan untuk saling melayani (Bdk. Matius 20:25-28; Galatia 5:13) ditumbuhkan dan berkembang.

 Keluarga memiliki peran sentral dalam persekutuan solidaritas menurut perspektif iman Katolik. Katekismus Gereja Katolik (KGK.1656) menyebutkan keluarga sebagai Gereja mini (Ecclesia domestica). Sebagai komunitas alamiah yang pertama, keluarga membentuk lingkungan di mana cinta, pengorbanan dan kasih Allah dapat dinyatakan. Mazmur 86:15 mengatakan “Tetapi Engkau, ya Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia.” Dalam sakramen perkawinan, keluarga menjadi tempat di mana anggota-anggota mengambil bagian dalam kodrat ilahi dan mengungkapkan diri sesuai dengan semangat Injil. Keluarga juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesaksian tentang nilai-nilai kristiani, memajukan keadilan sosial, dan membantu orang miskin serta tertindas. Dengan demikian, keluarga bukan hanya tempat kasih Allah bersemayam, tetapi juga panggilan yang didasari oleh perintah Tuhan untuk membangun persekutuan dan menyatakan cinta-Nya di dalam dan di luar rumah tangga.

Solidaritas anggota keluarga memiliki landasan psikologis yang penting dalam perspektif iman Katolik. Dalam ilmu psikologi, keluarga dipahami sebagai suatu rumah tangga dengan hubung an darah atau perkawinan dan sebagai tempat yang memungkinkan interaksi individu-individu yang terlibat dalamnya. Psikologi Keluarga dikenal sebagai bentuk intervensi psikologi dengan target keluarga, berupa terapi keluarga. Psikologi keluarga erat sekali hubungannya dengan manajemen rumah tangga, komunikasi antar anggota keluarga, pengembangan potensi dalam keluarga, strategi mengatasi permasalahan, dan penyelesaian masalah. Keluarga memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan individu. Fungsi keluarga dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan. Supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak sewajarnya sesuai dengan tuntutan dengan keadaan keluarga, sekolah, serta kehidupan pada umumnya. Namun, tidak semua keluarga memiliki fungsi yang seimbang. Beberapa faktor dapat memicu keretakan rumah tangga, seperti perceraian orangtua, ketidakdewasaan orangtua, tidak adanya tanggung jawab dalam diri orang tua, jauh dari Tuhan, dan faktor ekonomi. Dampak broken home bagi anak-anak adalah kehilangan rasa percaya diri karena tekanan mental yang ia terima. Kurangnya perhatian dari sang ibu atau tidak adanya pelukan hangat sang ayah bisa menjadikan seorang anak menjadi rendah diri. Pola asuh orangtua juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap anak. Pola asuh menurut Diana Baumrind (1967), pada prinsipnya merupakan parental control yaitu bagaimana orangtua mengontrol, membimbing, dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju pada proses pendewasaan. Pola asuh dengan gaya otoritatif bersifat positif dan mendorong anak-anak untuk mandiri, namun orangtua tetap menempatkan batas-batas dan kendali atas tindakan mereka. Dalam kesehatan mental, keluarga memiliki peran yang sangat penting. Kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar dengan lebih baik. Dalam pola asuh, komunikasi yang terjadi dua arah dan orangtua bersifat mengasuh dan mendukung. Anak yang diasuh dengan pola ini akan terlihat lebih dewasa, mandiri, ceria, mampu mengendalikan diri, berorientasi pada prestasi, dan mampu mengatasi stresnya dengan baik.

Keluarga bukan hanya sekadar kumpulan individu yang tinggal bersama, tetapi juga merupakan komunitas yang saling mendukung dan berbagi ikatan emosional. Menurut teori dukungan psikologi sosial, anggota keluarga saling memberikan dukungan  emosional, instrumental, dan informasional satu sama lain. Dalam situasi krisis atau kesulitan, solidaritas keluarga menjadi sumber kekuatan dan ketahanan psikologis. Kepercayaan, komitmen, dan rasa keterikatan di antara anggota keluarga memperkuat solidaritas ini. Dalam Ensiklik Gaudium et Spes, Gereja Katolik mengakui pentingnya keluarga sebagai tempat pertama di mana cinta dan kasih Allah dapat dinyatakan. Keluarga juga memiliki tanggung jawab untuk membangun keadilan sosial dan menghargai martabat setiap anggota. Oleh karena itu, solidaritas keluarga bukan hanya aspek psikologis, tetapi juga panggilan moral dan rohaniah yang didasari oleh iman. Solidaritas komunitas sel dalam keluarga memiliki peran penting dalam mencegah praktik kekerasan domestik. 

Tanpa Komsel solidaritas dalam keluarga, maka dapat timbul kekerasan rumah tangga.Dari sudut pandang Hukum kekerasan domestik merupakan suatu tindakan yang dikenai hukuman pidana sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur larangan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya Pasal 5, berbunyi: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: Kekerasan fisik, Kekerasan psikis, Kekerasan seksual, Penelantaran rumah tangga. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia, terutama hak-hak individu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dengan adanya pasal-pasal dalam undang-undang ini, diharapkan korban mendapatkan perlindungan dan pelaku kekerasan dapat ditindak secara hukum. Selain itu, kekerasan ini juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Ketika anggota keluarga saling mendukung dan berkolaborasi, mereka menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih. Menghargai perasaan dan kebutuhan satu sama lain, serta mendengarkan tanpa prasangka, adalah langkah awal untuk menghindari konflik dan kekerasan. Dengan memperkuat ikatan positif di antara anggota keluarga, kita dapat membangun fondasi yang kuat untuk mengatasi masalah dan memastikan bahwa setiap individu merasa didukung dan dicintai. 1 Petrus 4:10 mengatakan: “Masing-masing harus menggunakan karunia yang diterimanya untuk melayani orang lain, sebagai pengurus yang baik dari berbagai karunia Allah."

Memperkuat solidaritas dalam keluarga adalah langkah penting untuk menciptakan hubungan yang sehat dan harmonis. Berikut adalah beberapa cara untuk mempraktikkan solidaritas Komsel dalam keluarga.

Pertama, Komunikasi Terbuka yang memungkinkan anggota keluarga berani berbicara secara terbuka dengan keluarga. Setiap anggota keluarga mendengarkan dengan penuh perhatian dan berbicara dengan lembut. Setiap anggota keluarga tidak mengalami ketakutan untuk berbicara tentang perasaan, harapan, dan kekhawatiran yang dirasakan. Kedua, kebiasaan bekerjasama dalam keputusan. Di sini semua anggota keluarga ikut terlibat dalam pengambilan keputusan. Praktik seperti ini menciptakan rasa memiliki dan memastikan bahwa semua orang merasa dihargai. Ketiga, kebiasaan saling membantu satu sama lain. Ketika ada masalah atau tantangan, anggota keluarga saling menawarkan dukungan. Solidaritas Komsel dalam keluarga dipraktikkan dengan saling membantu anggota keluarga yang membutuhkan bantuan, baik secara emosional maupun praktis. Empat, membuat jadwal untuk waktu bersama. Di sini terjadi saling meluangkan waktu untuk berkumpul bersama sebagai keluarga. Ini bisa berupa makan malam bersama, pergi piknik, atau aktifitas ringan misalnya bermain game. Solidaritas Komsel terbangun melalu momen-momen seperti ini secara rutin. Kelima, kebiasaan menghormati perbedaan di dalam keluarga. Setiap anggota keluarga memiliki kepribadian, minat, dan kebutuhan yang berbeda, menghargai perbedaan berarti tidak mudah saling menghakimi. Karakter manusia adalah ciri khas diri yang terbentuk dari berbagai kebijakan yang diyakini dan dipergunakan dalam berpikir, bersikap, berucap, dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Karakter ini terbentuk melalui proses pembelajaran yang cukup panjang dan dipengaruhi oleh lingkungan serta orang-orang yang ada di sekitar. Karakter dapat berupa nilai-nilai yang khas, baik watak, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan yang diyakini dan dipergunakan. Karakter manusia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, seperti sanguinis, melankolis, plegmatis, dan koleris, masing-masing memiliki sifat dan kelebihan yang unik. Seseorang dengan karakter sanguinis, misalnya, biasanya optimis, riang, antusias, dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Sementara itu, orang dengan karakter melankolis cenderung perfeksionis, pendiam, dan sensitif. Karakter juga dapat berupa sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain. Karakter mulia berarti individu mempunyai pengetahuan wacana potensi dirinya, yang ditan da-tandai menggunakan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif, dan inovatif. Dalam kehidupan sehari-hari, karakter dapat diekspresikan dalam berbagai cara, seperti berupa sifat, kepribadian, watak, serta tingkah laku yang dilakukan dengan memperlihatkan dan menonjolkan nilai-nilai. Karakter adalah suatu pilihan yang dapat menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Keenam, kebiasaan bersama-sama mengatasi konflik. Konflik adalah bagian normal dari kehidupan keluarga. Namun demikian, penting untuk menyelesaikannya dengan cara yang konstruktif. Berbicaralah dengan tenang untuk mencari solusi bersama. Ketujuh, kebiasaan merayakan keberhasilan. Apresiasi satu sama lain ketika ada pencapaian atau momen bahagia dengan merayakan ulang tahun, pencapaian prestasi, dan momen spesial lainnya.

Solidaritas Komsel dalam keluarga membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua anggota keluarga. Dengan membangun ikatan yang kuat, kita dapat menciptakan lingkungan yang penuh cinta dan dukungan. Di situlah iman terus bertumbuh dalam praktik hidup dan kebiasaan yang baik yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga. Solidaritas Komsel dalam keluarga menjadi pupuk dan sangat penting bagi pertumbuhan iman yang hidup yang dihayati setiap hari.

 

Sumber:

Derung, TN, & Alexander, M (2020). Peran Keluarga Muda Katolik Dalam Membangun Keharmonisan Keluarga. SAPA: Jurnal Kateketik dan Pastoral, e-journal.stp-ipi.ac.id, http: //e-journal.stp-ipi.ac.id/index.php/ sapa/article/view/121

Supriyadi, A. (2018). "Keluarga Menjadi Seminari Dasar Bagi Panggilan Imam dan Hidup Membiara". JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik. https:// doi.org/10.34150/jpak.v5i3.113

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Baumrind D. (1967). Child care practices anteceding three patterns of preschool behavior. Genet Psychol Monogr, 75(1), 43-88.

 

Penulis : Anastasia Bintari Kusumastuti - Tim Kontributor Kolom Katakese

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments